Hukum Bitcoin dalam Tinjauan Fatwa MUI No. 116/ DSN-MUI/IX/2017

Penggunaan bitcoin sebagai mata uang dalam perspektif ekonomi Ditinjau menurut hadist, dari ‘Ubadah bin Shamit, Nabi Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “(juallah) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum bur (gandum halus) dengan gandum bur, sya’ir (gandum kasar) dengan sya’ir, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam (dengan syarat harus sama takarannya) dan sejenis, serta secara tunai dari tangan ke tangan. Jika jenisnya berbeda, juallah sekehendakmu jika dilakukan secara tunai dari tangan ke tangan.” (Hadits Riwayat Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’i, dan Ibn Majah).

Pada hadist di atas, dapat diketahui maksudnya adalah bahwasannya emas dan perak diberlakukan hukum riba karena diberikan status sebagai alat tukar, nilai ukur benda lainnya. Sehingga pada kondisi tersebut bukan dilihat dari nilai instrinsik (nilai asli yang ada pada emas dan perak) melainkan kepada kegunaan dan mafaatnya.

Diterbitkannya fatwa tentang uang elektronik syariah No. 116/ DSN- MUI/IX/2017 membuat kontruksi-kontruksi dasar dalam uang elektronik syariah semakin jelas dan di dalam fatwa tersebut juga mengatur larangan- larangan, batasan-batasan yang tidak boleh ada dalam praktik uang elektronik syariah serta berharap adanya fatwa dapat menjawab hal-hal dasar dan teknis sehingga menjadikan produk-produk uang elekteronik syariah berada dalam ketentuan syariat Islam. Dapat disimpulkan tujuan utama dari syariat adalah kemaslahatan manusia. Kewajiban syariah adalah memperhatikan Maqasid Asy-Syariah, yang bertujuan untuk memberikan kemaslahatan terhadap manusia.

Fatwa yang dikeluarkan oleh DSN-MUI merupakan fatwa  tentang ekonomi syariah yang meliputi produk, akad, dan jasa yang dijalankan  di LKS dan LBS. Fatwa tersebut dikeluarkan oleh DSN-MUI karena: pertama, merespons ide regulator (misalnya BI, Kemenkeu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan sebagainya), yang biasanya dimaksudkan untuk mendorong pertumbuhan atau kehati-hatian bisnis di LKS dan LBS. Kedua, merespons ide pelaku usaha di LKS dan LBS. Biasanya untuk memenuhi permintaan pasar berupa produk dan akad.

Ketiga, merespons ide Dewan Pengawas Syariah (DPS). Biasanya untuk merinci implementasi fatwa DSN-MUI yang telah ada. Dan keempat, ide dari DSN-MUI sendiri. Biasanya merujuk pada pendapat ulama yang terdapat dalam kitab-kitab fikih yang mu’tabarah, lalu ditawarkan kepada pelaku (Amin, 2017).

Dalam hal uang elektronik Maqasid Asy-syariah yang dimaksud adalah hifzumaal pada tingkatan hajiyat yaitu memelihara harta dengan tidak menyia- nyiakan harta dalam hal ini uang elektronik dan agar terhindar dari riba fadhl. Menjaga harta merupakan unsur terpenting dalam Maqasid Asy-Syariah yang berkaitan dengan kemaslahatan harta. Terdapat 3 (tiga) syarat yang harus diperhatikan dalam menjaga harta pada tingkatan hajiyat. Pertama, harta yang dikumpulkan harus dengan cara yang halal, kedua, harta yang digunakan untuk hal-hal yang halal, ketiga dari harta ini harus dikeluarkan hak Allah dan masyarakat sekitar. Jika ketiga syarat tersebut terpenuhi barulah seseorang dapat menikmati hartanya dengan sepenuh hati. Namun tanpa adanya pemborosan karena pemborosan merupakan hal yang berbading terbalik dalam menjaga harta.

Menurut Ahmad Al-Mursi Husain Jauhar, dalam memelihara atau menjaga harta, terdapat tiga syarat penting yang harus diperhatikan, yaitu pertama, mensyaratkan bahwa harta dikumpulkan harus dengan cara yang halal, artinya tidak didapatkan dengan cara mencuri, menipu, dan lain sebagainya; kedua, harta digunakan untuk hal-hal yang halal; dan ketiga, dari harta ini harus dikeluarkan hak Allah dan masyarakat tempat dia hidup. Setelah ketiga syarat terpenuhi barulah seseorang dapat menikmati hartanya dengan sepenuh hati, namun tanpa adanya pemborosan karena pemborosan merupakan hal berbanding terbalik dengan memelihara jiwa (Jauhar, 2009). Kesuaian uang elektronik dengan prinsip Maqasid Asy-Syariah dalam menjaga harta pada tingkatan hajiyat dapat memperhatikan hal-hal berikut:

Keamanan

Fatwa menjelaskan bahwa jika media uang elektronik hilang maka nominal uang yang ada dipenerbit tidak boleh hilang. Uang elektronik itu disebut dengan registered karena uang elektronik ini dilindungi dengan sistem keamanan yang lengkap berupa PIN atau fingerprint yang dapat menjaga uang elektronik dari segala macam kejahatan atau kelalaian. Akan tetapi perlu diingat pada uang elektronik unregistered biasanya tidak dilengkapi dengan PIN atau fingerprint. Pengunaan uang elektronik dengan registered juga perlu diperhatikan karena pada kenyataannya uang elektronik registered tidak mengunakan PIN hanya terdaftar saja, sehingga ini juga memicu terjadinya pencurian karena ketika kartu hilang maka uang tersebut juga hilang dan dapat dimanfaatkan orang lain karena tidak dilengkapi dengan PIN.

Kehalalan

Dalam uang elektronik harus terhindar dari transaksi ribawi, gharar, maysir, tadlis, risywah, israf dan transaksi atas obyek yang haram atau maksiat. Karena jika tidak diperhatikan akan menimbulkan hal-hal yang dilarang sehingga keharaman akan merubah status hukumnya.

  1. Tabzir atau pemborosan

Dalam Maqasid Asy-Syariah tujuan utamanya adalah kemaslahatan, dalam uang elektronik ada beberapa keunggulan yang mendatangkan kemaslahatan, yaitu transaksi lebih cepat, lebih mudah dan efisiensi

Adanya fatwa tentang uang elektronik syariah dan peraturan Bank Indonesia No. 20/6/PBI/2018 menjadikan bukti keseriusan terhadap fenomena uang elektronik, terutama uang elektronik syariah. Kehadiran fatwa uang elektronik syariah masih perlu ditinjau ulang karena dalam fatwa tersebut masih belum begitu detail. Ada beberapa point yang harus diberi penjelasan dalam fatwa tersebut:

  1. Perihal posisi dalam fatwa tersebut, apakah fatwa tersebut hanya ditujukan pada penerbit atau juga Co-Branding. Karena dalam fatwa tersebut hanya menjelaskan antara penerbit dengan pemegang kartu dan antara penerbit dengan penyeleggaraan uang elektronik dan agen layanan keuangan digital. Belum membahas prihal uang elektronik yang mengunakan Co- Branding. Karena pada prateknya masih banyak lembaga keuangan syariah yang mengunkan Co-Branding dengan lembaga-lembaga keuangan konvesional atas uang
  2. Tidak dijelaskan jenis-jenis uang elektronik seperti server based atau chip based karena keduanya memiliki perbedaan yang satu berbasis kartu dan yang satu lagi berbasis server.
  3. Fatwa juga tidak menjelaskan secara detail tentang registered dan unregistered karena dalam fatwa tercantum bahwa uang elektronik yang hilang maka nominal uang pada penerbit tidak hilang. Dan pada praktiknya tidak seperti itu jika kartu hilang makan nominal hilang. Dan semua ini bisa tergambar jelas jika uang elektronik registered dan unregistered dijelaskan dalam ketentuan

Dengan demikian terbukti bahwa uang elektronik syariah menurut ketentuan peraturan Bank Indonesia No. 20/6/PBI/2018 dan ketetapan fatwa tentang uang elektronik syariah No. 116/ DSN-MUI/IX/2017 mendatangkan kemasalahatan. Karena bertransaksi dengan uang elektronik waktu transaksi akan lebih cepat. Dengan uang elektronik transaksi akan terasa lebih mudah. Akan tetapi, pengunaan uang elektronik registered dan unregistered harus ditinjau kembali, karena pada praktiknya kedua jenis tersebut juga dapat dikatakan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip menjaga harta pada tingkatan hajiyat dan dapat mendatangkan kemudharatan, disebabkan karena:

  1. Pada penguna uang elektronik registered juga dapat menimbulkan

kemudharatan karena pada prakteknya uang elektronik yang registered tidak dilengkapi dengan PIN hanya terdaftar saja, sehingga ketika hilang dan uang elektronik tersebut ditemukan seseorang maka cukup beresiko untuk dipergunakan oleh orang lain karena tidak terdapat PIN pengaman sebelum kita melaporkan atau memblokir uang elektronik tersebut.

  1. Pada pengunaan unregistered harus dihindari, karena cukup jelas yaitu tidak terdaftar dan tidak terdapat PIN pengaman sehingga jika terjadi kehilangan atau kerusakan maka nominal uang pun akan hilang dan dapat dimanfaatkan oleh orang

Jika ini terjadi maka uang elektronik tersebut baik registered dan unregistered dinilai belum sesuai dengan prinsip-prinsip menjaga harta dalam tingkat hajiyat (Maqasid Asy-Syariah) dan dapat dikategorikan terlarang atau haram. Karena masih menimbulkan kemudharatan walaupun syarat-syarat yang lain telah terpenuhi sesuai dengan kaidah fiqh yang menyatakan:

 

 

Artinya: Menghindari kerugian harus didahulukan ketimbang mengejar keuntungan.

Kedudukan bitcoin menurut Islam, sebagaimana dikemukakan KH Cholil Nafis yang merupakan anggota Dewan Syariah Nasional (DSN) periode 2015- 2020 juga menukil definisi uang dari kitab Buhuts fi al-Iqtishad al-Islami.

 

 

“Uang: segala sesuatu yang menjadi media pertukaran dan diterima secara umum, apa pun bentuk dan dalam kondisi seperti apa pun”

Lebih lanjut dijelaskannya, bahwa mengutip fatwa Dewan Syariah Nasional yang berbunyi, “transaksi jual beli mata uang adalah boleh dengan ketentuan: tidak untuk spekulasi, ada kebutuhan, apabila transaksi dilakukan pada mata uang sejenis, nilainya harus sama dan tunai (attaqabudh). Jika berlainan jenis, harus dengan kurs yang berlaku saat transaksi dan tunai”. Kedudukan bitcoin sebagai alat tukar menurut hukum Islam adalah boleh, tetapi dengan syarat harus ada serah terima (taqabudh) dan sama kuantitasnya jika jenisnya sama. Jika jenisnya berbeda, disyaratkan harus taqabudh secara hakiki atau hukmi; ada uang, ada bitcoin yang bisa diserahterimakan. Guna menjelaskan lebih terperinci, KH Cholil juga mengutip kitab Futuh al-Buldan, yang menyebutkan:

 

 

“Bahwa Umar bin Khattab berkeinginan membuat uang dari kulit unta. Namun rencana ini diurungkan karena khawatir unta akan punah”.

Cholil menjelaskan bahwa, Umar bin Khattab mengurungkan rencananya, ada pelajaran yang bisa dipetik, yakni para sahabat mengakui kebolehan dalam memproduksi mata uang dengan bahan selain dari emas dan perak. Terkait permasalahan bitcoin sebagai aset untuk investasi cenderung termasuk gharar, yaitu spekulasi yang dapat merugikan orang lain. Berdasarkan berbagai pertimbangan tersebut, dinyatakan hukum bitcoin sebagai alat tukar adalah mubah (boleh) bagi mereka yang berkenan untuk menggunakan dan mengakuinya. Namun hukum bitcoin sebagai investasi menjadi haram karena nyatanya bitcoin diperlakukan sebagai alat spekulasi, bukan untuk investasi, atau dengan kata lain, hanya menjadi alat permainan untung-rugi, bukan suatu bisnis yang menghasilkan.

Transaksi bitcoin ditinjau dari Fatwa Dewan Syariah Nasional No: 28/DSN- MUI/III/2002 tentang Jual Beli Mata Uang (Al-Sharf) termasuk dalam transaksi forward, swap dan option. Transaksi forward merupakan transaksi pembelian dan penjualan valas yang nilainya ditetapkan pada saat sekarang dan diberlakukan untuk waktu yang akan datang, antara 2 x 24 jam sampai dengan satu tahun. Hukumnya adalah haram, karena harga yang digunakan adalah harga yang diperjanjikan (muwa’adah) dan penyerahannya dilakukan di kemudian hari, padahal harga pada waktu penyerahan tersebut belum tentu sama dengan nilai yang disepakati, kecuali dilakukan dalam bentuk forward agreement untuk kebutuhan yang tidak dapat dihindari (lil hajah). Transaksi swap, merupakan suatu kontrak pembelian atau penjualan valas dengan harga spot yang dikombinasikan dengan pembelian antara penjualan valas yang sama dengan harga forward. Hukumnya haram, karena mengandung unsur maisir (spekulasi). Sedangkan transaksi option merupakan kontrak untuk memperoleh hak dalam rangka membeli atau hak untuk menjual yang tidak harus dilakukan atas sejumlah unit valuta asing pada harga dan jangka waktu atau tanggal akhir tertentu. Hukumnya haram, karena mengandung unsur maisir (spekulasi).

Keputusan Bahsul Masail Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur di PP Sunan Bejagung Semanding Tuban pada Sabtu-Ahad, 24-25 Jumadal Ula 1439 H /10-11 Februari 2018 M, para Ulama NU mengkatagorikan bitcoin sebagai harta virtual, karena dari beberapa rujukan kitab Mu’tabarah, bitcoin telah memiliki unsur harta yaitu berharga dan bernilai, sehingga dengan terpenuhinya kondisi harta maka bitcoin sah untuk digunakan sebagai alat pembayaran atau transaksi, Namun, karena Bank Indonesia secara tegas melarang penggunaan bitcoin sebagai alat tukar, maka penggunaan bitcoin untuk tujuan transaksi pembayaran tidak sah. Sedangkan untuk tujuan investasi selama tidak untuk motif spekulasi maka diperbolehkan, namun BI memberikan peringatan untuk waspada dan berhati-hati terkait pengguna bitcoin sebagai investasi, karena tidak ada lembaga yang bertanggung jawab jika terjadi kerugian.

Metode yang digunakan Lembaga Bahsul Masail PWNU Jawa Timur terkait pandangan    fiqh tentang penggunaan   bitcoin sebagai alat transaksi maupuninvestasi, para mubahitsin yang terdiri dari ulama dan intelektual NU menggunakan metode ilhaqi, yaitu   menyamakan sesuatu yang sudah ada keputusan hukumnya dengan masalah yang dicari jawaban hukumnya. Hal ini terlihat dari pengambilan dalil yang digunakan, yang mana para mubahitsin mengkategorikan bitcoin sebagai harta virtual serupa dain yang mengandung unsur nuqud (emas dan perak). Dari segi argumentasi yang mengacu pada kitab- kitab rujukan, tidak ada yang menyebut secara jelas mengenai pandangan fiqh tentang   penggunaan   bitcoin   yang   dalam   bahasa   Arab   disebut  atau (mata uang digital).

Berdasarkan uraian di atas, dapat dinyatakan bahwa tinjauan uang elektronik yang dihubungkan dengan Maqasid Asy-syariah adalah hifzumaal pada tingkatan hajiyat yaitu memelihara harta dengan tidak menyia-nyiakan harta, dan terhindar dari transksi yang ribawi, gharar, masyir, tadlis, risywah, dan israf, serta transaksi atas objek yang haram atau maksiat. Sementara Grand Mufti Mesir, Shawki Allam melarang atau mengharamkan transaksi uang elektronik, karena diyakini untuk tindak kejahatan, yang dipandang sebagai al-masiyyah karena termasuk perbuatan memakan al-shut (uang tutup mulut atau sogokan).

Transaksi bitcoin di negara Indonesia merujuk Fatwa No. 116/DSN- MUI/IX/2017 tentang uang elektronik syariah yang dihubungkan dengan maqashid syariah dilarang (haram) karena mengandung maysir (perjudian). Dominan transaksi bitcoin bertujuan untuk investasi dengan memanfaatkan fluktuasi nilai bitcoin yang selalu naik turun dengan cara membeli pada harga rendah dan menjual pada harga tinggi. Kemudian jika harga sudah mulai stabil maka kemungkinan bitcoin akan dijadikan alat tukar dimulai dengan transaksi Online shop. Akan tetapi kemungkinan untuk nilai bitcoin stabil masih belum diketahui, sebab nilai bitcoin selalu mengikuti penawaran dan permintaan pasar. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa bitcoin tidak bisa menjadi uang elektronik syariah dalam ketentuan fatwa MUI No. 116/DSN-MUI/IX/2017 tentang Uang Elektronik Syariah.

Hukum Bitcoin dalam Tinjauan Peraturan Bank Indonesia No. 20/6/PBI/2018

Kehadiran fatwa tentang uang elektronik syariah No. 116/DSN- MUI/IX/2017 diiringi langkah Bank Indonesia dalam bebenah untuk memperbarui segala peraturan mengenai uang elektronik terutama dari segi peraturan, tepat pada tanggal 07 Mei 2018 Bank Indonesia penerbitkan peraturan tentang Uang elektronik No. 20/6/PBI/2018. Kehadiran peraturan terbaru tersebut membuat peraturan-peraturan yang lama tidak dapat berlaku kembali. Perturan Bank Indonesia ini diharapkan menjadi payung hukum

terhadap praktik transaksi uang elektronik yang semakin berkembang di Indonesia. Di dalam PBI yang terbaru ini dirasakan sudah cukup jelas dan berkuatan hukum tetap karena di dalamnya telah mengatur segala aspek yang berkaitan dengan transaksi uang elektronik mulai dari ketentuan umum, prinsip, ruang lingkup, keamanan, pemprosesan transaksi, larangan-larang, perlindungan konsumen dan lain-lain yang berkaitan dengan uang elektronik.

Bank Indonesia menegaskan bahwa virtual currency termasuk bitcoin tidak diakui sebagai alat pembayaran yang sah, sehingga dilarang digunakan sebagai alat pembayaran di Indonesia. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang dan Peraturan Bank Indonesia No. 20/6/PBI/2018 No. 20/6/PBI/2018 yang menyatakan bahwa mata uang adalah uang yang dikeluarkan oleh Negara Indonesia dan setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran, atau kewajiban lain yang harus dipenuhi dengan uang, atau transaksi keuangan lainnya yang dilakukan di Indonesia wajib menggunakan Rupiah.

Bank Indonesia menegaskan bahwa sebagai otoritas sistem pembayaran, Bank Indonesia melarang seluruh penyelenggara jasa sistem pembayaran (prinsipal, penyelenggara switching, penyelenggara kliring, penyelenggara penyelesaian akhir, penerbit, acquirer, payment gateway, penyelenggara dompet elektronik, penyelenggara transfer dana)  dan  penyelenggara  Teknologi Finansial di Indonesia baik Bank dan Lembaga Selain Bank untuk memproses transaksi pembayaran dengan virtual currency, sebagaimana diatur dalam PBI 18/40/PBI/2016 tentang Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran, dalam PBI 19/12/PBI/2017, dan dalam PBI No. 20/6/PBI/2018 tentang Uang Elektronik.

PBI 18/40/PBI/2016 tentang Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran berlaku sejak 9 November 2016, dalam PBI 19/12/PBI/2017, dan PBI tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial, dan dalam PBI No. 20/6/PBI/2018 tentang Uang Elektronik. Pengawasan oleh Bank Indonesia dilakukan dimulai saat berlakunya dua (2) Peraturan tersebut dan perlunya peran Bank Indonesia dalam hal pengawasan tentang terlaksananya aturan tersebut karena sifat dari bitcoin, sebagai berikut:

  1. Bitcoin bukan merupakan mata uang dalam satuan Rupiah;
  2. Nilai tukarnya sangat fluktuatif sehingga rentan terhadap risiko bubble

(penggelembungan);

  1. Tidak ada otoritas yang bertanggung jawab dan tidak ada   administor resmi;
  2. Tidak terdapat underlying asset yang mendasari harga bitcoin;
  3. Rendahnya perlindungan

Kesimpulan

  1. Tinjauan hukum bitcoin menurut Fatwa 116/DSN-MUI/IX/2017 tentang uang Elektronik Syariah dalam perspektif maqashid syariah dilarang (haram) karena mengandung maysir (perjudian). Dominan transaksi bitcoin bertujuan untuk investasi dengan memanfaatkan fluktuasi nilai bitcoin. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa bitcoin tidak bisa menjadi uang elektronik syariah dalam ketentuan fatwa MUI No. 116/DSN-MUI/IX/2017 tentang Uang Elektronik Syariah.
  2. Tinjauan hukum bitcoin dalam Peraturan Bank Indonesia 20/6/PBI/2018 tentang Uang Elektronik dinyatakan bahwa: bitcoin bukan merupakan mata uang dalam satuan Rupiah, nilai tukarnya sangat fluktuatif sehingga rentan terhadap risiko bubble (penggelembungan), tidak ada otoritas yang bertanggung jawab dan tidak ada administor resmi, tidak terdapat underlying asset yang mendasari harga bitcoin, dan rendahnya perlindungan konsumen.