Tanjung Lubuk, 10 September 2023

Oleh: Muhammad Iqbal, S.Sos, M.Pd.

Demokrastisasi Pendidikan

Kata demokratisasi berakar dari kata demokrasi. Demokratisasi berarti sebagai proses daripada demokrasi atau pendemokratisasian. Demokrasi bahasa Inggris democracy, adalah salah satu kata terpenting dalam kamus politik. Kata ini sebenarnya diambil dari bahasa Yunani, yaitu demos berarti people (rakyat) dan krateein berarti to rule (menguasi/memerintah), dan ia sudah dikenalkan oleh pemikir-pemikir Yunani kuno sejak empat abad sebelum masehi, namun istilah kata ini baru dikenal kembali pada abad ke 18 yaitu pada saat tercetusnya revolusi Perancis dan kemerdekaan Amerika Serikat. Dalam  bukunya Soedijarto mengatakan bahwa demokrasi adalah suatu konsep politik yang mengandung pengertian tentang suatu sistem politik yang menganut pemahaman penyelenggaraan pemerintahan Negara yang pemerintahannya dalam menyelenggarakan administrasi pemerintahan didasarkan atas persetujuan yang diperintah. (Soedijarto, 2003)

Setelah dipahami makna demokrasi di atas, maka demokrasi dan demokratisasi atau usaha pendemokratisasian adalah suatu ide dan usaha yang sangat baik dan terpuji, terlebih lagi bila dikaitkan dengan pendidikan. Hal ini dipahami mengingat bahwa pendidikan merupakan bagian terpenting dalam membangun kehidupan. Melalui proses pendidikan seseorang, sekelompok orang atau satu bangsa dapat meningkatkan kualitas dirinya, baik secara kognitif, afektif, maupun psikotomorik. (Muhajir, 1987)

Demokrasi dalam Islam

Secara etimologis, Islam tidak mengenal istilah demokrasi. Islam hanya mengenal istilah musyawarah sebagai fondasi utama dalam kehidupan sosial. Beranjak dari konsepsi musyawarah inilah Islam memperkenalkan gagasan demokrasi, yakni gagasan yang mengharuskan seluruh proses politik melandaskan diri pada partisipasi, kebebasan, dan persamaan. (Musa, 2014) Umat Islam telah bersepakat, bahwa salah satu prinsip ajaran Islam tentang kehidupan bermasyarakat dan bernegara adalah prinsip musyawarah. Musyawarah adalah sesuatu yang sangat penting guna menciptakan peraturan di dalam masyarakat manapun. Dan setiap Negara maju yang menginginkan keamanan, ketentraman, kebahagiaan, dan kesuksesan bagi rakyatnya, tetap memegang prinsip musyawarah.

Pada dasarnya Islam telah memiliki nilai-nilai dasar universal tentang keadilan, kejujuran, persamaan, persaudaraan, amanah, dan musyawarah. Semua norma dasar ini dimaksudkan untuk mewujudkan suatu tata kehidupan sosial kemasyarakatan yang beradab (civilized). Berdasarkan argumentasi ini dapat dikemukakan bahwa “pada dasarnya universalisme ajaran Islam telah memuat prinsip-prinsip dasar mengenai hubungan-hubungan sosial, termasuk demokrasi”. (Djalil, 1994) Perwujudan nilai-nilai demokrasi tersebut secara substansial direfleksikan ke dalam sikap egalitarian dan prinsip musyawarah pada komunitas muslim.

Ada dua ayat di dalam Al-Qur’an menerangkan tentang musyawarah. Pada salah satu ayat, Allah SWT. menyebut orang-orang yang bermusyawarah sebagai umat yang terpuji. Sementara pada ayat lainnya, Allah SWT memerintahkan agar umat melakukan musyawarah.

Adapun ayat yang pertama disebutkan di dalam Al-Qur’an adalah Surah Ash-Syura: 38 yang berbunyi:

وَٱلَّذِينَ ٱسۡتَجَابُواْ لِرَبِّهِمۡ وَأَقَامُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَأَمۡرُهُمۡ شُورَىٰ بَيۡنَهُمۡ وَمِمَّا رَزَقۡنَٰهُمۡ يُنفِقُونَ

Artinya:

Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. (Q.S. Ash-Syura: 38)

Sedangkan ayat yang kedua yang disebutkan di dalam Al-Qur’an adalah Surah Ali Imran: 159 yang berbunyi:

فَبِمَا رَحۡمَةٖ مِّنَ ٱللَّهِ لِنتَ لَهُمۡۖ وَلَوۡ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ ٱلۡقَلۡبِ لَٱنفَضُّواْ مِنۡ حَوۡلِكَۖ فَٱعۡفُ عَنۡهُمۡ وَٱسۡتَغۡفِرۡ لَهُمۡ وَشَاوِرۡهُمۡ فِي ٱلۡأَمۡرِۖ فَإِذَا عَزَمۡتَ فَتَوَكَّلۡ عَلَى ٱللَّهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُتَوَكِّلِينَ

Artinya:

Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.(Q.S. Ali Imran: 159). (RI, 2005)

Dalam konteks musyawarah tentu saja terkandung sejumlah elemen yang berkaiatan dengan proses politik, yaitu apa yang disebut partisipasi, kebebasan, dan persamaan. Jadi, tidak mungkin mengadakan musyawarah tanpa adanya partisipasi kehadiran baik secara langsung maupun tidak langsung. Musyawarah juga tidak akan mungkin dapat terlaksana tanpa adanya kebebasan dalam berpendapat. Dan tidak kalah pentingnya suatu proses musyawarah dalam rangka mengambil keputusan yang berdasarkan kebebasan, harus dilandasi oleh semangat persamaan.

Demokrasi dalam Pendidikan Islam

Demokrasi dalam pendidikan Islam adalah dilaksanakan untuk dapat menyiapkan peserta didik agar terbiasa bebas berbicara dan mengeluarkan pendapat secara bertanggung jawab dan turut bertanggung jawab, terbiasa mendengar dengan baik dan menghargai pendapat dan pandangan orang lain, menumbuhkan keberanian moral yang tinggi terbiasa bergaul dengan rakyat, sama-sama merasakan suka dan duka dengan masyarakat. Proses demokrasi pendidikan dan pendidikan Islam harus mampu mengakses, merespon dan mengakomodasi kebutuhan-kebutuhan yang diiginkan masyarakat, orang tua, peserta didik dan pasar sebagai pelanggan dan pengguna produk pendidikan. Sehingga, melalui demokrasi pendidikan akan terjadi proses kesetaraan antara pendidikan dan peserta didik di dalam proses belajar mengajar. (Sanaky, 2003)

Prinsip demokrasi pendidikan Islam dijiwai oleh prinsip demokrasi dalam Islam, atau dengan kata lain demokrasi pendidikan Islam merupakan penerapan prinsip demokrasi Islam terhadap pendidikan Islam. Pendidikan Islam menurut Ramayulis dapat dibagi menjadi dua yaitu: Pertama, kebebasan bagi pendidik dan peserta didik. Kebebasan berkarya, kebebasan mengembangkan potensi dan kebebasan berpendapat. Kedua, persamaan terhadap peserta didik dalam pendidikan Islam. Karena, Islam memberikan kesempatan yang sama bagi semua peserta didik untuk mendapatkan pendidikan atau belajar. (Ramayulis, 2002)

Pada dasarnya Islam memberikan kebebasan kepada individu (anak didik) untuk mengembangkan nilai-nilai fitrah yang ada di dalam dirinya untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Islam juga memberikan petunjuk kepada para pendidik, sekaligus menghendaki agar mereka tidak mengekang kebebasan individu anak dalam mengembangkan potensi. (Hasbullah, 2009)

Maka dari itu peserta didik yang masuk di lembaga pendidikan tidak ada perbedaan derajat atau martabat, karena penyelenggaraan pendidikan dilaksanakan dalam suatu ruangan dengan tujuan untuk memperoleh pengetahuan dan pendidikan. Pendidik harus mengajar anak orang yang tidak mampu dengan yang mampu secara bersama atas dasar penyediaan kesempatan belajar yang sama bagi semua peserta didik. Sehingga pendidik harus mampu memberikan kesempatan yang sama kepada semua peserta didik untuk mendapatkan pendidikan. Bagi peserta didik yang kurang aspiratif dalam belajar diberikan latihan-latihan remedial secara khusus, sedangkan yang cerdas diberikan tambahan pengajaran yang belum dipelajarinya.

Cerminan Demokratisasi Pendidikan dalam Pendidikan Islam

Adapun demokratisasi pendidikan dalam pendidikan Islam tercermin dalam beberapa aspek, diantaranya adalah:

  1. Tauhid: Sebuah Paradigma Pembebasan

Tauhid merupakan prinsip yang paling esensial dalam keislaman, dengan jelas menunjukkan bahwa tidak ada penghambaan atau penyembahan kecuali Allah SWT. bebas dari belenggu kebendaan dan kerohanian. Dengan kata lain, seseorang telah mengikrarkan diri dengan dua kalimat syahadat berarti telah melepaskan diri dari belenggu dan subordinasi apapun.

Perumusan tauhid yang paling singkat tetapi tegas adalah kalimah toyyibah: La ilaha illallah yang berarti tidak ada Tuhan selain Allah. Sebuah kalimat penegas sekalian pembebasan dari anasir-anasir pengkultusan, penyembahan, penindasan dan perbudakan. Maka dari itu Tauhid dapat dijadikan landasan bagi terwujudnya asas demokrasi dalam pendidikan. (Fathorrahman, 2020)

  1. Syura: Sebuah Wahana Keterbukaan

Adapun kaitannya dengan demokrasi, syura merupakan kata kunci penting dalam Al-Qur’an. Secara simpel syura diartikan dengan pengambilan keputusan secara bersama. Semata-mata dilandasi untuk menjaga semangat kolektivitas, disatu sisi dan mengurangi kemungkinan kesalahan yang dilakukan oleh individu di sisi lain. Dengan demikian, semangat syura berlawanan dengan sikap individualisme dan depotisme yang sering terjadi ditengah kehidupan. (Aziz, 1997)

Musyawarah dilakukan dengan maksud mencari kebenaran dan bukan mencari kekuatan berdasarkan wibawa. Kalau sesuatu diputuskan berdasarkan muayawarah maka semua harus mengikuti aturan yang sudah dimusyawarahkan. Dalam Al-Qur’an Surah Ali Imran ayat 159 yang peneliti jelaskan di atas, kita dianjurkan untuk bermusyawarah. Syura merupakan bagian pokok dari demokrasi membawa nilai lain yaitu keterbukaan. Dalam pemikiran pendidikan yang demokratis, keterbukaan sangat mutlak diperlukan. Disamping mengisyaratkan nilai keterbukaan, dalam musyawarah juga terbesit sebuah nilai tanggung jawab masing-masing anggota.

  1. Al-Adlu: Masyarakat Tanpa Kelas

Kalimat keadilan merupakan kosa kata Bahasa Indonesia yang berasal dari Al-Qur’an. Makna keadilan itu sendiri bersifat multidimensional. Keadilan berintikan kebenaran (al-haq). Keadilan berarti pula tidak menyimpang dari kebenaran, tidak merusak dan tidak merugikan orang lain dan diri sendiri. (Raharjo, 1994) Dalam kehidupan sehari-hari, keadilan Nampak dalam berbagai bentuknya. Keadilan berarti menghukum orang sesuai kesalahannya atau memberi ganjaran sesuai perbuatan baiknya.

  1. Amar Makruf Nahi Munkar

Di dalam Al-Qur’an, Amar Makruf Nahi Munkar dikaitkan dengan kualitas manusiayaitu dalam Al-Qur’an Surah Ali Imran ayat 110 yang artinya “Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk umat manusia, mengajak pada yang makruf dan mencegah dari yang munkar dan beriman kepada Allah”. Sayyid Qutub dalam kitab Tafsirnya Fi Zhilalill Qur’an menjelaskan bahwa ayat ini ditunjukkan pada umat Islam agar mereka mengetahui posisi dirinya sebagai umat terbia, mereka dilahirkan agar maju ke garda terdepan dalam semua bidang kehidupan. Mereka harus memiliki kekuatan atau kualitas fisik dan mental untuk melakukan perbaikan dan mencegah kemunkaran dengan landasan tauhid. (Qutub, 1992)

Posisi sebagai umat yang terbaik baru merupakan kondisi bersyarat (conditional state), artinya posisi itu baru terwujud dan terlaksana kalau ditunjang oleh kualitas diri yang memadai (bertauhid, beramal shalih, bertakwa dan ulul albab), sehingga memungkinkan mereka melaksanakan rekonstruksi sosial, dari yang tidak baik menjadi lebih baik.

  1. Tawassuth: Prinsip Moderasi

Prinsip tawassuth (moderasi) adalah suatu prinsip yang menjelaskan karakteristik agama Islam sebagaimana termaktub dalam Al-qur’an Surah Al-Baqarah ayat 143 yang berbunyi sebagai berikut:

وَكَذَٰلِكَ جَعَلۡنَٰكُمۡ أُمَّةٗ وَسَطٗا لِّتَكُونُواْ شُهَدَآءَ عَلَى ٱلنَّاسِ وَيَكُونَ ٱلرَّسُولُ عَلَيۡكُمۡ شَهِيدٗاۗ وَمَا جَعَلۡنَا ٱلۡقِبۡلَةَ ٱلَّتِي كُنتَ عَلَيۡهَآ إِلَّا لِنَعۡلَمَ مَن يَتَّبِعُ ٱلرَّسُولَ مِمَّن يَنقَلِبُ عَلَىٰ عَقِبَيۡهِۚ وَإِن كَانَتۡ لَكَبِيرَةً إِلَّا عَلَى ٱلَّذِينَ هَدَى ٱللَّهُۗ وَمَا كَانَ ٱللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَٰنَكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ بِٱلنَّاسِ لَرَءُوفٞ رَّحِيمٞ

Artinya:

Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), “umat pertengahan” agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia. (Q.S. Al-Baqarah: 143)

Sikap Tawassuth yang berintikan kepada prinsip hidup yang menjunjung tinggi keharusan adil dan lurus di tengah-tengah kehidupan bersama bertindak lurus dan selalu bersifat membangun serta menghindari segala bentuk pendekatan yang bersikap tathorruf (ekstrim). (Nurcholis, 2011) Penerapan sikap Tawassuth (dengan berbagai dimensinya) bukan berarti bersifat serba boleh dengan mencampuradukan semua unsur. Juga bukan mengucilkan diri dan menolak pertemuan dengan unsur lain. Karakter At Tawassuth dalam Islam adalah titik tengah diantara dan ujung (At Tatharuf=ekstrimisme), dan hal itu merupakan kebaikan yang sejak semula telah diletakkan Allah SWT. prinsip dan karakter Tawassuth yang sudah menjadi karakter Islam ini harus diterapkan dalam segala bidang, supaya agama Islam dan sikap serta tingkah laku umat Islam selalu menjadi saksi dan pengukur kebenaran bagi semua sikap dan tingkah laku manusia pada umumnya. (Siddiq, 2005)

Implementasi nyata sikap Tawassuth dalam bidang pendidikan dapat dilihat pada lembaga Islam tertua yakni pesantren. Pesantren adalah lembaga pengembangan keilmuan dan pengajaran Islam di Nusantara yang selalu dengan luwes mampu berdiri pada sikap pertengahan. Lembaga pendidikan yang khas Indonesia ini mampu mengadopsi sistem pendidikan Barat (sekolah formal) tanpa menghilangkan jati dirinya yang mempunyai ciri khazanah keilmuan klasik (kitab kuning).

  1. Kewajiban dan Hak Manusia dalam Pengembangan Ilmu

Menuntut ilmu adalah suatu kewajiban dan hak asasi manusia dalam Islam. Karena sikap Islam dalam berhadapan dengan pendidikan dan sains modern senantiasa simpatik. Setiap manusia mempunyai hak mutlak untuk memperoleh pengetahuan sebanyak yang ia kehendaki.

طلب العلم فريضة على كلّ مسلم ومسلمة

Artinya:

Menuntut ilmu itu hukumnya wajib bagi setiap muslim laki-laki dan perempuan

Hadist ini mencerminkan bahwa dalam Islam terdapat demokratisasi pendidikan, dimana Islam tidak membeda-bedakan antara laki-laki dan perempuan dalam hal kewajiban menuntut ilmu. Demokratisasi menjadi sebuah keharusan untuk dipraktekkan dalam pendidikan Islam. Sebagai instrument perekat dan pemersatu bangsa dalam tataran praktis pendidikan harus mengakomodasikan secara luas prinsip-prinsip demokratis dan egaliter. Untuk kepentingan itu, Nabi Muhammad Saw, mengedepankan dirinya sebagai Uswatun Hasanah atau teladan kebaikan.  

KESIMPULAN

Kesenjangan pendidikan merupakan persoalan bangsa yang tak pernah habis. Demikian pula dipelosok, pendidikan masih belum merata. Hambatan ekonomimasih menjadi hal yang sangat menakutkan. Maka demokratisasi dalam pendidikan Islam menjadi salah satu solusi untuk menjawab model pendidikan di Indonesia. Anak-anak bangsa butuh pendidikan yang demokratis, yang nyaman untuk belajar dan merata disegala lapisan masyarakat dan berkualitas sesuai dengan tuntutan dan tuntutan zaman sekarang ini.

Demokratisasi pendidikan dalam pendidikan Islam tercermin dalam beberapa aspek: Pertama, Tauhid: Sebuah paradigma pembebasan. Bebas dari belenggu kebendaan dan kerohanian, pembebasan dari anasir-anasir pengkultusan, penyembahan, penindasan dan perbudakan. Maka dari itu Tauhid dapat dijadikan landasan bagi terwujudnya asas demokratisasi dalam pendidikan. Kedua, Syura: Sebuah wahana keterbukaan. Syura diartikan dengan pengambilan keputusan secara bersama, semangat kolektivitas. Ketiga, Al-Adlu: Masyarakat tanpa paksa. Keadilan tidak menyimpang dari kebenaran, tidak merusak dan tidak merugikan orang lain dan diri sendiri. Prinsip keadilan menempati azaz yang urgen dalam demokratisasi pendidikan Islam. Keempat, Amar Makruf Nahi Munkar: Amar Makruf Nahi Munkar dikaitkan dengan kualitas manusia. Posisi itu baru terwujud dan terlaksana kalau ditunjang oleh kualitas diri yang memadai (bertauhid, beramal shaleh, bertakwa, dan ulul albab). Kelima, Tawassuth: Prinsip Moderasi. Prinsip ini dapat diterapkan baik dalam bidang Syari’ah, kehidupan bernegara serta dalam bidang pendidikan. Keenam, Kewajiban dan hak manusia dalam pengembangan ilmu: Islam tidak membeda-bedakan antara laki-laki maupun perempuan dalam kewajiban menuntut ilmu.